Showing posts with label la vita non è sempre bella. Show all posts
Showing posts with label la vita non è sempre bella. Show all posts

Monday, February 2, 2015

those skinny feet that took me everywhere

Gak semua yang dibilang orang ke kita itu pasti benar.

Ini kesimpulan yang saya ambil sejak usia dini.

Dulu banget, tentunya sama seperti kebanyakan anak kecil lainnya, orangtua jadi referensi tentang dunia ini. Apa apa yang kita gak ngerti pasti kita tanyain ke ibu/ayah atau mama/papa sebagai sumber informasi primer.

Dulu banget juga, saya yakin orang tua banyak mengajarkan hal-hal yang memang benar adanya. Tapi ada juga informasi yang kurang akurat atau bahkan 'kebohongan' yang mereka sampaikan ke anak-anaknya.

Salah satunya tentang Sinterklas.

Sampe umur 10 tahun lebih, saya percaya luar dalam bahwa Sinterklas memang benar-benar ada. Dan mereka bakal kasih kado ke anak-anak yang baik kelakuannya di akhir tahun.

Sehingga tiba saat dimana fakta yang sebenarnya terungkap… maka dunia pun serasa gempa sesaat. Ternyata… orangtua yang saya percaya selama ini tega membohongi anaknya sendiri.

Maka sejak usia dini saya pun memutuskan bahwa orangtua bukan lah (selalu) jadi sumber informasi yang dibutuhkan.
Beruntungnya, saya tidak pernah merasakan kekurangan sumber bacaan seperti buku, majalah, ensiklopedia ataupun media pertukaran informasi lainnya di masa kecil.

Setelah dewasa (FYI kedewasaan saya dimulai pada umur 18 tahun, saat resmi menjadi mahasiswa semester pertama fakultas kedokteran) banyak informasi yang saya butuhkan tidak lagi berasal dari kata-kata orang tua. Terutama karena pengalaman sebelumnya membuktikan bahwa mereka kadang-kadang (sengaja atau tidak) memberikan saya informasi yang salah.

Salah satunya yang dulu sering saya dengar:

'Orange bule itu jarang mandi, badannya bau keju.'

Sampe sekarang nenek dari pihak ibu saya pun masih suka meng-indoktrinasi dengan pemikiran serupa.

Pernyataan tersebut, kalau ditelaah lebih jauh dari kacamata peneliti sosial demografik misalnya:

'Orang bule yang mana?'
Apakah bule asal Eropa, Amerika, atau Australia.

Kalau yang dimaksud bule asal Eropa, Eropa belah mana?
Apakah orang Belanda, dimana nenek saya memang familiar dengan kebiasaan mereka yang jarang mandi (terutama saat musim dingin).
Atau orang bule Prancis yang memang menurut survey paling jarang ganti underwear dibandingkan cowo asal negara-negara lainnya di daratan Eropa.

Pernyataan diatas bisa dibilang entah terlalu meng-generalisasi, terlalu cepat mengambil kesimpulan, atau hanya prejudice semata.
Entahlah….

Tapi bisa dibilang pernyataan serupa muncul di belahan dunia mana pun.

Saat saya di Belanda, orang lokal punya prejudice sendiri tentang negara tetangga si orang Jerman. Temen-temen bule Belanda di kelas saya juga suka mengeluarkan pernyataan yang sedikit melecehkan tentang orang asal Belgia.

Di Belgia, temen bule saya menyinggung tentang negara Prancis yang mencuri 'Patat Vries' mereka dan menggantinya dengan nama 'French fries'.
Mereka yang di Prancis Utara bilang orang yang tinggal di Prancis Selatan lebih santai, tukang bermalas-malasan dst.
Lalu saat tinggal di Prancis Selatan, orang lokalnya membenci mereka yang berasal dari Prancis Utara (terutama dari kota besar seperti Paris) karena dianggap sombong, tidak sabaran, tidak mengerti kultur selatan yang ramah, penuh toleransi and so on.

Jadi, being a bit here, there and everywhere mengajarkan saya untuk tidak selalu percaya akan pernyataan pertama yang saya dengar ketika tiba di suatu daerah.

Atau in general, gak gampang percaya sama apa pun yang pernah kita dengar sebelumnya.

Mereka yang lebih tau duluan tentang suatu hal, bukan berarti mereka pasti benar.
Lagian ilmu pengetahuan aja selalu berubah… Contohnya orang jaman dulu percaya kalo bumi itu datar.
Dan ilmuwan pertama yang bikin pernyataan kalau bumi itu bulat langsung mendapat pertentangan dari pihak yang berkuasa (termasuk gereja, yang saat itu mengkategorikan sebagai ajaran sesat).

A bit skeptical and critical itu penting juga koq. Apalagi untuk spesies kita.
Itulah yang membedakan homo sapiens dengan makhluk bertulang belakang lainnya.
Secara proporsional, ukuran otak kita mungkin masih kalah dengan dolfin, mamalia dengan kecerdasan tinggi lainnya yang populasinya berkurang (bahkan terancam) karena keberadaan manusia.
Fortunately bukan ukuran otak (semata) yang menentukan kecerdasan, tapi lipatan-lipatan gyrus-nya. Dalam bahasa yang lebih dimengerti: Semakin sering kita menggunakan otak, akan semakin terasah kemampuannya.

Critical thinking, inevitably adalah bagian dari proses otak untuk terus berkembang.
Kebalikannya dari indoktrinasi.

Menerima mentah-mentah sebuah informasi tanpa mempertanyakan keabsahannya sungguh bertentangan dengan proses normal otak yang sehat.
Tapi tentu aja ada sebagian orang yang diuntungkan dengan teknik indoktrinasi.
Di filem-filem maupun kehidupan nyata, umumnya bila sebuah pihak ingin berkuasa (atau berniat melanggengkan kekuasan) maka kebebasan berpikir adalah haram adanya.

Indoktrinasi tentunya penting bagi kekuasaan absolut.
Mau contoh?
Liat aja Korea Utara. Di situ ada indoktrinasi dalam level ekstrim.

Contoh yang gak terlalu ekstrim adalah anggapan sebagian bangsa Indonesia yang berpikir bahwa pemimpin mesti berpostur tinggi, tegap, gagah, tegas dengan latar belakang militer.
(Dan bukannya ceking, kurus, tampang ndeso, dari rakyat sipil).

Psikoanalisisnya?
Karena bangsa kita adalah bangsa yang pernah terjajah.
Terjajah selama 350 tahun bukanlah waktu yang singkat.
Dan penjajahan itu masih menyisakan rekaman mental, bahwa postur orang Belanda (yang cenderung tinggi, tegap, karena diet mereka yang tinggi protein) lebih cocok memimpin dibanding rakyat pribumi (yang cenderung kurus, kering, karena kurang gizi dan kerja paksa).

Jadi revolusi mental memang diperlukan.
Terutama bagi mereka dengan 'mental terjajah'.

Yang kita kira benar selama ini: Pemimpin terlahir dengan figur tertentu, tinggi, tegap dan gagah seperti SBY (yang sempat) jadi idola kaum wanita* selepas pemilu 2004 lalu.
* Sayangnya penulis tidak termasuk dalam golongan mereka yang mengidolakan beliau.

Kenyataannya: Mereka yang berjiwa pemimpin tidak mempunyai kriteria fisik tertentu. Contohnya Suryadi Suryaningrat, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan banyak orang pribumi Nusantara bertampang ndeso lainnya ternyata mampu membawa perubahan signifikan dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.

Maka pesan penutup dalam tulisan ini adalah: Gak semua yang dikatakan orang itu benar. Terutama kalau orang yang jadi referensi kita adalah mereka yang telah berhenti belajar. Atau mereka yang berguru pada ilmu yang outdated.

Hidup ini cuman sekali. Mungkin kita ada disini agar kita mampu mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam hidup.

You have mouth, you can ask.
You have eyes, you can read.
You have brain, you can think.
You have time, you can travel.

Camogli, Liguria (IT) autumn 2011

PS. And no, Denmark should not considered as one of the happiest places on earth.


Malapascua, Cebu (PH) summer 2012
Wadi Rum (JO) spring 2014
St. Cergue (CH) winter 2015
milano 02.feb.2015

Sunday, January 25, 2015

.: The Art of Being Ignorant :. Milano - Gennaio 2015 [parte uno]

Tadinya tulisan ini mau saya kasi judul 'The advantage of being ignorant' ... tapi secara prinsip, lebih banyak mudarat-nya menjadi 'ignorant' daripada manfaatnya.

Seengga-engga itu yang saya rasakan selama tinggal 12 hari di Milan.

Dan perjalanan ke-sekian kalinya ke Milan tentunya bukan perjalanan traveling seperti biasanya.
Tapi lebih menjurus ke hubungan antarpersonal... yang... sepertinya gak usah diceritakan lebih jauh *ehem*

Jadi orang asing di negeri orang bukan pengalaman baru bagi saya.
Sebelumnya saya pernah tinggal beberapa bulan di Belanda, Denmark, dan juga sempat meng-eksplor sejumlah negara baik di Eropa maupun sekitaran Asia.
Biasanya ada kosa kata tertentu yang akan saya pelajari, seperti 'Terima kasih', 'Maaf', 'Halo/ Selamat pagi' dst saat berpindah ke negara baru.

Mempelajari bahasa asing juga bagi saya sesuatu yang menarik dan bukan beban. Dari kecil saya memang familiar dengan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Lalu sempat mempelajari bahasa Jepang selama SMU. Bahasa Jerman dan bahasa Prancis saat beberapa tahun silam. Dan sekarang bahasa Italia masuk ke dalam daftar. 

Saat tinggal di Belanda dan Denmark, saya memang tidak terlalu berusaha untuk mempelajari bahasa setempat karena ... 1) orang sana ampir semuanya ngerti bahasa Inggris. Bahkan tukang sapu jalan pun bisa diajak berkomunikasi pake Inggris. Mungkin cuman orang Belanda asli yang uzur banget gak familiar pake bahasa Inggris. 2) Bahasa Belanda mirip dengan bahasa Jerman. Dan bahasa Denmark juga mirip bahasa Jerman. So, kadang-kadang tanpa ngerti seluruh kalimat pun bisa ngerti artinya apa kalo orang ngomong. Walaupun seringnya ngeblank... 3) Gak kedengeran seksi, jadi gak tertarik untuk belajar serius.

Sebaliknya, saat pertama kali mengunjungi Italia di tahun 2010 (Bologna, dapet cheap flight Ryan Air cuman 20 Eur dari Weeze) saya langsung jatuh cinta dengan bahasa dan ampir segala sesuatu (terutama makanan, cuaca, dan karakter orang) tentang Italia.
Bisa dibilang mereka seperti bernyanyi ketika bicara.
Pesen kopi aja bisa jadi sesuatu yang romantis kalo diucapkan orang Itali : )

Bahasa Italia memang gak se-susah bahasa Prancis dalam pelafalan huruf/ kata. In fact, untuk orang Indonesia pelafalan bahasa Itali termasuk gampang.
Yang susah itu aturan grammar-nya. Mirip-mirip Prancis tapi ada yang bilang lebih susah.
Berbahagialah mereka mahasiswa kedokteran yang pernah belajar (sedikit) kata-kata Latin ketika kuliah. Karena bahasa Italia akarnya dari bahasa Latin juga.

Bagi mereka yang merasa belajar bahasa Inggris itu susah, maka mulailah untuk belajar bahasa lain yang aturannya lebih njelimet... bahasa Rusia mungkin, supaya ntar pas balik lagi belajar Inggris-nya pasti jadi berasa gampang banget.

Anyway,  sebelum melenceng lebih jauh dari judul ... berikut definisi dari Ignorant[adj.]: lacking knowledge or awareness in general.

And yes, it is normal being ignorant when one's went abroad.
Especially when they don't speak the same language.

Bahkan gak usah abroad, waktu saya PTT di Sumbawa aja (baru pindah pulau) orang setempat udah bisa ngata-ngatain saya di depan muka.
Simply because I didn't understand what they've said I didn't get mad or upset.

Ada beberapa keuntungan tentunya being ignorant di negri orang:

1) Kita gak ngerti apa yang orang laen omongin. Kadang kalo hal itu gak penting, maka seharusnya gak usah juga didengar.

Di Indonesia, banyak pembicaraan yang gak pengen saya dengar tapi mau gak mau terdengar.
Informasi gak penting seperti ini bisa jadi sampah emosional. Bikin kepikiran, tapi sebetulnya gak perlu dipikirin juga.

Omong-omong, bahasa Inggris punya 2 kata, hear and listen untuk dengar.
Yang kalo diterjemahkan bedanya cuman dikit. Hear: mendengar, listen: mendengarkan.

Selama di Milan, saya jadi jarang juga nonton TV yang isinya berita politik lokal. Walaupun aslinya saya peminat berita politik ketika di kampung halaman, baik lokal maupun internasional.
Informasi itu bisa jadi pedang bermata dua. Berguna dan juga bisa membawa petaka.
Jadi ada baiknya kalau kita gak ngerti bahasa setempat, mengurangi screen-time depan TV dan beban emosional untuk memikirkan masalah-masalah pelik di belahan dunia lain yang gak selalu relevan.

2) Beberapa hari yang lalu, kita abis dinner dan jalan kaki di seputaran Corso Buenos Aires (tempat shopping terkenal di Milan), ada seorang pria pake baju rapih dan jas doang (kita aja yang pake jaket masi kedinginan karena suhu 8 derajat Celsius) lagi duduk di pinggir jalan sambil pegang karton.
Saya tanya apa arti tulisan di karton yang dia pegang. Terjemahannya kurang lebih seperti ini: 
'Saya kehilangan pekerjaan dan punya 2 anak yang harus diberi makan'
Setelah itu saya jadi agak sedih. 
Kadang-kadang saya merasa dunia itu gak adil, karena selalu ada orang miskin, mereka yang kurang beruntung ...
Di Indonesia karena kita udah keseringan liat pengemis, anak jalanan, pengamen dst jadi mungkin malah kebal dengan perasaan kasihan. Malah saya sebel kadang, karena kepikiran koq ada orang tua yang tega-teganya membiarkan anak balita ngamen di jalanan, misalnya.

Tapi menginjakkan kaki di luar negri, terutama negara Eropa yang dianggap makmur, jadinya rasa kasihan itu muncul lagi.
Sempat penampakan gembel atau homeless jadi barang langka bagi saya selama tinggal di Kopenhagen. Sampe akhirnya saya short trip selama 1 minggu ke Budapest (Hongaria) dan penampakan itu kembali muncul. Langsung saya berteriak lagi (dalam hati tentunya, bukan di tengah kota Budapest) bahwa betapa tidak adilnya dunia ini.

Selama dua minggu di Milan, untuk pertama kalinya, tepatnya tiga hari yang lalu, saya menyaksikan seorang pengamen di metro. Seorang pria berumur pertengahan 40-an, tampang timur tengah dengan instrumen musik menyanyikan lagu berbahasa Italia, suaranya juga bagus (gak jelek-jelek amat pastinya). Dan sejauh mata saya memperhatikan gak ada seorang pun di dalam metro yang ngasi duit.
Suara hati saya membenarkan alasan tidak memberikan receh, karena: 'I totally didn't understand what he said.'

It's not always particularly beneficial for 'being ignorant' ... but at least we could forget temporarily that the world is an unfair place somewhere....



 
Your Fonts - Font Generator