Tuesday, March 3, 2015

Money management (so you could travel more ! )

Baru-baru ini seorang teman (well, beberapa orang sih) bertanya seperti ini:

" Apa sih kerjaan élu? Koq kayanya bisa jalan-jalan terus ? "


atau

" Duit élu koq gak abis-abis yah… bisa bolak-balik Eropa melulu… "

Kenyataannya : Hidup itu memang gak seindah gambar - gambar yang gw posting di sosial media *smile*

Tapi kita pasti bisa traveling dimana ada niat dan strategi untuk mewujudkannya.

Sebelum gw share beberapa tips dan trik supaya bisa bepergian tapi gak bangkrut ada sedikit prelude: kenapa traveling itu penting (dan kenapa menghabiskan duit untuk traveling itu perlu) sama pentingnya seperti investasi lainnya.

Kecanduan gw akan traveling sebenarnya muncul sejak usia muda (kesannya sekarang gw udah tuwir banget yaks)…. maksudnya muda di sini adalah awal 20an.

Tapi perjalanan pertama keluar negri sendiri baru dimulai tahun 2009.
Waktu itu gw solo backpacking ke Thailand. Iya murni sendirian aja ditemani backpack.
Setelah riset singkat tentang Thailand, gw berangkat untuk perjalanan selama 2 minggu, dengan short transit di Singapore selama beberapa hari.

Sedikit catatan: Sebelumnya gw udah sering wara-wiri sendiri Jawa-Bali-Lombok-Sumbawa. Dan tentunya masalah traveling sendirian sama di negri orang sedikit berbeda tapi kurang lebih survival skill-nya sama.

Singkat cerita, perjalanan pertama itu berkesan banget, serasa melihat dunia baru deh pokonya dan akhirnya gw pun ketagihan untuk mengeksplor banyak tempat baru di luar (maupun dalam negri).
Traveling mengajarkan banyak hal dalam hidup yang gak bisa kita pelajari selama kuliah, dan buat gw sih menambah wawasan, cara pandang terhadap hidup, manusia. 



Traveler's quote ~ Dalai Lama (captured in NL, 2010)

Nasehat yang bakal gw bagikan ke anak muda: Traveling is a must, foremost while you are young.

Setelah nasehat itu, biasa akan ada pertanyaan lanjutan. " Ya tapi traveling itu kan butuh duit. Lalu gimana kalo kita masi muda, duit masi minta ortu, belum punya penghasilan dst…."

Betul sih. Realistis aja, kalo duit masih minta ortu alias belum berpenghasilan sendiri ya salah satu jalan keluarnya adalah nabung.
Dan gak usah maksain jalan keluar negri yang budgetnya besar, coba traveling dalam negri dulu. Karena yang penting kan melatih independensi dan how to survive in a real world.
Ada satu catatan penting yang ingin gw tekankan terkait menabung ini.

Menabung sebetulnya bukan hanya tips bagi anak muda yang belum berpenghasilan.
Tapi juga bagi banyak orang yang sudah bekerja sekian lama dan punya penghasilan tetap tapi gak pernah punya dana khusus buat jalan-jalan. And I found it really sad actually

Ohya, tentang tabungan …. itu sebetulnya adalah sebagian kecil dari money / resources management, yang nantinya akan gw bahas lebih lanjut dibawah.

Kalau dari latar belakang akademis, sebetulnya gak dalam kompetensinya gw membahas soal money management. Terus terang belajar 5 tahun lebih di kedokteran gak bikin gw cerdas sama sekali dalam mengelola finansial.
Justru money / resources management ini gw pelajari secara otodidak, karena gw pernah (atau sering) mengalami masa-masa financial crises (mendekati kebangkrutan ).

Setelah menyadari kalau money / resources management itu penting bagi seorang manusia secara umum (termasuk dokter, kan dokter juga manusia) maka gw belajar untuk lebih bijaksana mengelola keuangan.

Ok kembali ke menabung.
Emang cara konvensional ini paling terkenal di Indonesia, karena dianggap aman dan juga paling mudah.
Nabung kan bisa bermodalkan hanya celengan (atau ditaro di bawah bantal) dan kalo mau lebih sistematis tentunya dengan buka tabungan di bank (lalu setor rutin bulanan/ mingguan).

Tapi kalo ditelaah lebih lanjut, nabung itu sebetulnya gak menguntungkan amat.
Duit kita di bank malah suka kena potongan administrasi per bulan, belum bunga yang dikasi bank kecil banget. Maksimal 7% per tahun (tergantung BI rate).
Lalu kalo ada keperluan mendadak (misal ada diskon akhir tahun, tiba-tiba pengen upgrade gadget dst) akhirnya tabungan itu jadi kepake deh buat hal laen.


Intinya, tabungan susah jadi jaminan bahwa nilai yang kita inginkan untuk terkumpul dalam sekian waktu itu bisa terwujud.
Betul kalau kita harus selalu punya tabungan, in any case, untuk menjamin tersedianya dana likuid. Hanya jangan dijadikan sarana untuk akumulasi nilai investasi terutama bila kita punya target dalam jangka waktu tertentu, misalnya.

Cara lain yang memungkinkan supaya dapet return lebih dibanding tabung bisa dengan membuka deposito, tapi syaratnya selalu ada jumlah minimal tertentu (sekian juta). Belum lagi dengan laju inflasi yang tinggi di negara kita akhirnya nilai uang yang dimiliki bakal mengalami penurunan.

Salah satu solusinya yang bisa gw rekomendasikan: Memulai alternatif investasi dengan cara yang lebih cerdik.
Pilihannya tentu banyak, silahkan disesuaikan dengan profil resiko masing-masing dan juga kesanggupan/ dana yang tersedia.

Buat anak kuliahan (dan ini juga yang gw sarankan kepada adek-adek sepupu yang minta nasehat gratis): Mulai dengan reksadana.
Informasi tentang reksadana jaman sekarang bisa dicari di mana-mana (asal punya kemauan dan mau putar otak dikit).
Memulai reksadana juga cukup dengan dana 100ribu per bulan, yang buat anak muda jaman sekarang setara dengan budget  2 - 3 kali nongkrong di cafe/ resto.

Masalahnya bagi anak muda -dan juga buat kebanyakan orang kita sih- banyak yang lebih suka menghabiskan duit untuk gaya hidup (baca: nongkrong di cafe, nyoba resto baru, beli barang mahal, upgrade gadget, dst you name it) daripada nabung demi bisa traveling 2 - 3 tahun ke depan.

Ya gw bilang gak salah juga kalau kita ingin menikmati duit yang udah jadi jerih payah hasil kerja kita. Bahkan dulu gw juga melakukan hal yang sama koq.
Pada saat gaji bulanan gw menyentuh 8 digit maka dalam seketika banyak barang bisa gw beli, baik dengan metoda cash / cicilan.
Untungnya gw gak terlalu suka barang cewe seperti sepatu, tas, atau aksesoris, tapi duit gw sempat habis lumayan banyak untuk kosmetik mahal.


Memang tiap kita punya kelemahan masing-masing. Ada yang duitnya abis untuk gadget sampe bela-belain nyicil demi punya iPh*ne terbaru misalnya. Atau ada sodara gw yang gajinya pas-pasan tapi demi gaya hidup nyicil untuk beli tas bermerk mahal.

Godaan terbesar buat gw ya sebetulnya traveling.
Tahun 2014 kemaren aja gw traveling ke beberapa tempat: Timteng (Yordania), Eropa (Italia, Belanda, Belgia), Asia Tenggara (Bangkok, Kamboja, Kuala lumpur, Bali-Jawa) yang kalau ditotal mungkin duit yang gw habiskan kurang lebih setara dengan harga 6 buah iP*one keluar terbaru (dibeli tunai!).


Might be one of the symptoms of traveling's addiction:
I really like the sense of flying high
Kenapa gw bisa bepergian sebenarnya bukan dialaskan sekedar niat untuk mengalokasikan budget untuk traveling aja. Tapi juga karena gw menghilangkan pengeluaran yang gak penting (selama beberapa bulan atau bahkan hampir 2 tahun).
Contoh sederhana, gw suka banget jalan kaki ke kantor (karena apartemen deket ke kantor) ketimbang naek angkutan umum.
Dan walaupun gaji gw memungkinkan untuk naek taksi tiap hari, tapi gw gak keberatan naek kendaraan umum juga- walaupun artinya menghilangkan kenyamanan, tentu saat situasi memungkinkan yah.

Gw juga gak terlalu suka menghabiskan uang untuk makan makanan di resto. Bagi gw makan enak itu penting, tapi makan enak dan mahal itu pilihan. Dan makan enak itu gak harus mahal kan...

Makan enak juga bisa gratis (ditraktir uni) ~Bordeaux, 2010

Kalo gw perhatiin sih yah, jaman sekarang orang cenderung konsumtif karena seperti ada 'keharusan' coba resto / cafe baru ini (kalo engga jadi berasa gak gaul). Belum juga di sini kita kurang lahan publik untuk bersosialisasi (kaya taman kalo di negara-negara Eropa) makanya seringnya orang pergi ke mall atau pusat perbelanjaan buat tempat nongkrong.
Akibatnya orang jadi konsumtif, pengen beli ini itu.
Anak-anak sejak kecil juga belajar jadi konsumtif (ya iyalah, liat orangtuanya kasih contoh).

Kesian juga sih orang kita.
Makanya kalo ada kesempatan dengan traveling keluar kita jadi bisa belajar gimana negara maju itu menghabiskan waktunya. Dan kebiasaan baik apa yang bisa kita tiru, sehingga kita jadi terbawa maju juga kaya mereka.



Amsterdam, on an exceptionally beautiful day (winter 2010)
 Sebagai contoh lainnya, saat di Belanda (karena gw sempat tinggal beberapa bulan di sana) banyak orang Belanda itu sebetulnya banyak duit. Gaji mereka pasti cukup buat hidup berlebihan. Ya emang di Amsterdam biaya hidup cenderung tinggi dibanding kota lain yang lebih kecil. Tapi kalo gw perhatikan, mereka (orang Belanda) tuh termasuk pelit.

Kalo beli makanan ternyata mereka suka nyari yang lebih murah alias diskonan (tapi kualitas masih lumayan bagus sih). Trus gw perhatikan temen-temen bule gw di kelas tuh hape-nya hape jadul semua. Cuman 1 orang yang punya iPhone (itu tahun 2010 yah). Buat mereka gadget itu gak perlu canggih, yang penting fungsinya.
Trus mereka hemat banget, kemana-mana pake sepeda (termasuk direkturnya institusi gw).

Ya emang (lagi-lagi) Belanda adalah salahsatu negara Eropa yang punya budaya bersepeda. Selain itu transportasi umum juga gak murah-murah amat.
Jadi pilihan paling ekonomis ya sebetulnya dengan bersepeda.


Tapiiiiii….. in general mereka emang pelit, hemat, gak berlebihan, bahkan gaya berpakaian juga biasa aja.
Justru kalo gw perhatikan murid-murid dari negara berkembang (Pakistan, Bangladesh, negara-negara Afrika) yang suka berpakaian jas/ formal pas kuliah.
Supaya terkesan penting dan keren kali yah.

Sedangkan yang bule-bule malah pake kaos/ atasan semi-formal.
Buat mereka 'isi' itu lebih penting daripada sekedar penampilan luar.


Walaupun hemat-cenderung pelit-.... orang Belanda (atau kebanyakan orang Eropa yang gw kenal) pasti mengalokasikan budget untuk traveling. Bahkan sampe mereka tua pun, penting buat selalu traveling dan liat tempat baru paling engga setahun sekali.
Ibu kos gw di Kopenhagen aja umurnya udah 60 tahun lebih pun masih niat banget traveling ke Afrika dan dia ngumpulin duit lama buat trip-nya itu.


To see at least one new place each year, is such a privilege ~ Cannes, FR (2011)

Nah ini yang gw pelajari dari kultur di sana.

Balik dari Eropa gw malah belajar kalo gengsi itu gak ada gunanya.
Gengsi will get you nowhere.

Jadi gak ada gunanya misalnya punya gadget terbaru dan tercanggih, tas sepatu branded, kalo semuanya cuman demi gengsi.
Sekali lagi gw tekankan, gak ada yang salah dengan me-reward diri sendiri atas hasil jerih payah kerja keras kita dengan barang bagus, tapi….. kalo cuman demi gengsi doang sih….

Kembali ke soal money / resources management, nasihat yang juga gw berikan kepada adek-adek sepupu (yang usianya jauh lebih mudah 1 dekade lebih) adalah: Mulai investasi sedini mungkin.

Ini mungkin terdengar klasik. Penyesalan selalu datang terlambat, karena gw baru mulai sungguh-sungguh berinvestasi di usia 30an.
Kalo gw bisa mengulang waktu 10 tahun ke belakang, saat di mana gw pertama kali mendapat penghasilan sendiri maka sedapat mungkin bakal diusahakan tertib menyisihkan budget buat reksadana walaupun hanya dengan 100 - 200rb per bulan.

Tentu penyesalan gak ada gunanya, makanya pelajaran ini selalu gw bagikan kepada sodara/ adek sepupu yang lebih muda. Terutama setelah mereka tergiur dengan foto-foto perjalanan gw ke berbagai negara *winks*

Ohya, di sini gw hanya membahas salah satu jenis investasi yang bisa dimulai sedini mungkin, dengan jumlah kecil, dan nilainya berpotensi membesar dalam jangka waktu lama.
Precaution-nya, selalu ada resiko dalam investasi jenis apa pun. Ini bisa ditanyakan ke mereka yang lebih ahli menjelaskan soal ini. Atau ke agen penjual reksa dana biar lebih akurat informasinya (bisa di bank atau perusahaan sekuritas).

Selain reksa dana ada banyak metoda lain untuk berinvestasi, misalnya beli saham (bila punya pengetahuan mencukupi), atau beli barang yang punya nilai investasi -emas, kata orang jaman dulu- atau surat berharga seperti obligasi, kalau dana mencukupi.

Sebuah nasihat berharga yang selalu gw ingat dari seorang konsultan dalam bidang keuangan: Di saat kita tidak punya cukup dana untuk membeli sebuah investasi, investasi awal selalu bisa kita mulai dari kepala.

Maksud beliau adalah, miliki pengetahuan tentang investasi sebelum kita punya cukup dana (atau sumber daya) untuk memulainya.
Bisa dengan baca buku (gratisan, di toko buku) atau browsing di dunia maya, menghadiri seminar (gratis, suka diadakan di kampus/ institusi pendidikan).
Intinya semua bisa dilakukan asal ada niat.

In short, traveling itu sendiri merupakan sebuah investasi bagi kita.
Di luar negri atau mereka yang ingin bekerja di organisasi luar, pengalaman traveling itu sering jadi poin penting. Pengalaman traveling itu menunjukkan seberapa penting kita mampu mengelola diri sendiri.

Makanya gak aneh kalo remaja bule biasanya mengambil waktu 1 tahun selepas college (gap year) khusus buat traveling, bahkan pada saat mereka punya budget yang terbatas. Karena hal itu bakalan penting juga buat mereka pas nyari kerjaan.

Di lain waktu, gw juga pengen share how to spend a budget wisely during traveling.
Yang sebetulnya udah banyak website ngebahas juga sih, beberapa bahkan memberi tips yang ekstrim banget sampe gak memperhitungkan faktor keamanan.

Tapi mungkin di dalam tulisan berikutan, supaya gak kepanjangan dan bosen bacanya : )
Your Fonts - Font Generator